Senin, 27 Februari 2012

CERPEN PERTAMA QUW


Kan Ku Kenang Selalu....

Oleh : El_Ch@n

            Percayakah kalian cinta dapat berawal dari sebuah surat? Mungkin bagi kalian tidak, tapi bagiku hal itu adalah mungkin. Karena aku pernah merasakan cinta yang hanya berawal dari surat menyurat. Bagi kalian ini mungkin adalah hal konyol, tetapi bagiku tidak. Karena cinta dapat tumbuh dan muncul di hati siapapun tanpa kita duga. Dan itulah yang pernah aku alami, masih segar di ingatan ku pengalaman indah saat itu. Saat dimana kenyataan dan perasaan cinta datang menerpaku. Kisah ini dimulai saat awal liburan panjangku di desa.
~ *** ~
            “ Nanaa... ayo cepat siap-siap. Besok kita harus mulai berangkat, Nak!” terdengar suara nyaring Ibuku dari arah dapur di lantai bawah. “ Iyaa Ma ” jawabku sambil berteriak.
            Di liburan panjang kali ini, aku dan sekeluarga memutuskan untuk berlibur ke rumah nenek di desa. Ini adalah pengalaman pertamaku berkunjung di desa, dan aku sangat menantinya. Dan kebetulan sekali bahwa tempat tinggal “sahabat pena” ku juga ada disana, dimana nenek tinggal.
            Mungkin menurut kalian “sahabat pena” itu adalah hal yang kampungan dan sudah tidak zaman lagi. Tapi menurutku hal ini menarik, malah lebih menyenangkan daripada berkirim sms melalui handphone. Karena menurutku, dari tulisan pada suratlah kita dapat mengetahui sifat seseorang dan perasaan yang dialaminya saat itu. Maka dari itu, aku lebih memilih berkirim surat. Dan hingga sekarang aku sudah mempunyai sahabat pena yang menyenangkan, namanya Rio. Jadi, aku memutuskan untuk mengunjungi sahabat penaku ini.
            Saat sedang asyik menulis surat balasan untuk Rio, tiba-tiba pintu kamarku terbuka dan terdengar suara kakakku, Rita yang melengking.
            “ Hei, Na. Mau sampai kapan kamu nulis surat terus? Ayo cepat siap-siap. Mama dari tadi sudah menyuruhmu kan. Besok ditinggal baru tau rasa kamu!” “ Iya iyaa.. bentar lagi juga udah selesai kok. Bawel deh.” Jawabku dengan jengkel. Akupun memasukkan surat kedalam amplop dan menempelkan perangko. Tiba-tiba saja terdengar suara kakakku di belakangku.
            “ Kamu sampai sekarang masih surat suratan yah ama temen cowok misteriusmu itu? Gak keren banget sih kamu.” ejeknya “ Biarin. Lagian Rio tuh bukan cowok misterius, aku udah kenal dia kok. Aku tau dia siapa, tinggal dimana, hobinya apa, orang yang dikaguminya, cita-citanya, dan....”
            “ Iya-iya aku tau. Udah sana selesain suratmu itu. Gak minat aku ama yang begituan.” Selanya dengan kesal “ Lagian yang namanya belum tatap muka tuh tetep disebut misterius tauuu’..... weeekk.” Kata kakakku sambil menjulurkan lidahnya dan berlari keluar kamar dengan tertawa. “ Huh.. dasar nyebelin. Entar juga aku bakal bertemu dengan dia kok.” Kataku dengan kesal.
            Aku tahu bahwa mungkin saja Rio berbohong padaku selama ini. Tapi entah mengapa aku tetap percaya padanya. Dan saat ini aku ingin membuktikan hal itu dengan menemuinya besok. Pasti saat surat ini sampai padanya, ia akan terkejut karena aku akan datang menemuinya dengan tiba-tiba. Jadi ia tidak dapat menolak lagi.
            Akupun menyiapkan alat-alat dan baju yang akan aku bawa besok. Dan mengirimkan surat balasanku utuk Rio ke kantor pos. Tidak lupa akupun berdo’a semoga besok perjalanan akan lancar dan aku bisa bertemu denga Rio, sahabat yang kunanti.
~ *** ~
            Keesokan harinya, setelah aku sampai di desa. Akupun pergi menuju stasiun dan menunggu Rio disana, dimana aku sudah berjanji akan menunggunya dalam suratku kemarin. Sudah hampir satu jam aku duduk menunggu, tetapi tak tampak seseorang yang datang menghampiriku. Saat aku mulai beranjak pergi, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang kira-kira sebaya dengan ku datang tergesa-gesa menghampiriku. Ia pun berhenti di depanku daan berkata,
            “ Nana kan? Sorry ya, emm... maksudku maaf ya lama nunggu.” Ucapnya sambil terengah-engah. Setelah beberapa detik, ia sadar aku hanya terdiam dan menatapnya dengan heran. Ia pun berkata, “ Aduh maaf yah belum ngenalin diri. Gue Ri.. eh maksudku aku Rio, hai.”
            “ Iya, aku Nana. Aku senang akhirnya bisa bertemu juga denganmu. Makanya aku kehilanga kata-kata, hehehe...sorry.” kataku meminta maaf
            “ Hooh... begitu ya. Oke deh, karena katamu kamu baru pertama kali kesini. Jadi aku akan dengan senang hati menjadi pemandumu. Akan kutunjukkan daya tarik desa ini. Let’s go, eh maksudku ayo, ehe...” ajaknya dengan suara riang
            Kami pun berkeliling desa. Rio menunjukkan beberapa tempat indah kepadaku. Ia menunjukkan sawah yang hijau, taman yang penuh dengan pohon dan tanaman berbunga yang indah sekali. Ia juga mengajakku ke warung yang menjual rujak pedas tetapi sangat enak sekali.
            Aku sangat senang dengan perjalanan kami. Tetapi aku merasa ada yang berbeda dengan Rio. Jika Rio yang ada di surat mengatakan benci pedas, beda dengan Rio yang ada di hadapanku, dia sangat lahap sekali makan rujak pedas yang ada di warung tadi. Dan Rio di hadapan ku ini selalu keceplosan berbicara dengan bahasa gaul padaku, padahal selama ini Rio selalu menggunakan bahasa yang sopan padaku di surat. Dan aku sangat curiga pada hal ini. Apakah mungkin seseorang dapat berubah secepat ini? Atau jangan-jangan......
           
“ Eh, Rio. Apa hobimu?” Karena penasaran, akupun memutuskan untuk mencari tahu.
“ Ehm.. aku suka main sepak bola. Ada apa? Mau main yah?”
 “ Lalu, siapa orang yang kamu kagumi?” “ David Beckam donk, kenapa ...”
“ Apa cita-cita mu?” selaku dengan tajam “ Aku pengen jadi pemain bola yang hebat! kenapa sih tanya-tanya terus?” jawabnya dengan kesal. Saat itulah aku mendapat kepastian dari rasa penasaranku.
“ Siapa kamu?” tanya ku dengan singkat “ Apaan sih, aku Rio lah.” jawabnya gugup. “ Jangan bohong! aku tau siapa Rio. Rio itu cowok yang kata-katanya sopan, tidak suka makanan pedas, hobinya membaca, dan Ia sangat mengagumi Ir. Soekarno.” Rio pun hanya terdiam dan menatapku terkejut.
“ Dan, yang lebih penting adalah ia bercita-cita untuk menjadi seorang Presiden. Bukannya pemain sepak bola.” lanjutku dengan suara lirih “ Aku... aku membohongimu selama ini, puas!” katanya mengelak “ Tidak... tidak, aku sangat yakin Rio tidak membohongiku selama ini. Dan kalaupun iya, seharusnya kamu tidak mungkin berani menemuiku disini. Kalau kamu tau aku ada disini, berarti kamu ada hubungan dengan Rio. Jadi, siapakah kamu ini? Dan ada dimana Rio sekarang?” kataku dengan tajam.
“ Haah.... sepertinya gue udah gak bisa membohongi loe lagi. Loe emang cewek yang keras kepala ya.” candanya sambil tersenyum “ Aku tidak butuh pujian,  aku hanya butuh jawaban yang jujur!”  jawabku dengan ketus.
“ Hei, hei... jangan marah donk. Gue minta maaf, gue Ian. Sepupunya Rio dari kota, tiap liburan gue sekeluarga juga sering kesini. Kenapa loe bisa tau kalo gue bukan Rio? Masa’ hanya karena kesukaan kita beda, loe bisa tau sih?” tanya Reza penasaran “ Jangan ngremehin insting cewek yah.” Jawabku sambil tersenyum.
“ Ck.. ck.. ck lain kali gue bakal ati-ati deh kalo berurusan ama cewek, hehehe.” “ Iyalah. Lalu... Rio sekarang kemana? Kenapa dia gak mau nemuin aku sendiri?” tanyaku dengan heran.
 “ Ehm... bukanya dia gak mau, cuman dia gak bisa. Apa yang loe ketahui tentang Rio itu belum semuanya. Ada beberapa hal yang disembunyiin Rio ke elo. Dan gue udah janji untuk gak bilang hal ini ke elo. Yakin loe pingin denger kebenarannya?” tanya Ian dengan sungguh-sungguh. Aku hanya mengangguk. Karena aku begitu penasaran dengan apa yang sebenarnya Rio sembunyiin dari ku.
“ Oke, gue juga merasa loe emang seharusnya tau tentang hal ini. Inilah kebenarannya, bahwa Rio sekarang ini sedang dirawat di rumah sakit. Dia menderita penyakit yang parah, penyakit ini makin lama makin membuat tubuhnya melemah tiap tahunnya. Dan sekarang ini, ia hanya dapat beraktifitas di rumah sakit saja. Jadi, loe udah tau kan kenapa Rio gak bisa nemui loe langsung.” Kata Ian dengan wajah sendu
“ Aku tak menyangka kenyataannya akan sangat berbeda dengan pikiran dan dugaanku semula. Aku mengira bahwa Rio dan dirimu sekarang ini sedang mempermainkanku, maaf ya aku seenaknya saja menyimpulkan.” kataku meminta maaf “ Emh, loe gak salah kok. Gue ma Rio emang udah salah karena ngrencanain hal kayak gini ke elo.”
“ Tapi, kenapa Rio gak ngomong langsung aja bahwa dia gak bisa ketemu dan alasanya bahwa dia sedang sakit? kenapa harus berbohong? aku gak ngerti.” Tanyaku dengan kesal “ Emm... lebih baik sekarang loe ikut gue deh. Biar semuanya lebih jelas, yuk!” ajaknya dengan memaksa.
Akupun hanya pasrah mengikuti Ian. Dan akhirnya kami sampai di sebuah bangunan rumah sakit yang bernama “ Rumah Sakit Permata Bunda”. Akupun hanya menatap heran ke arah Ian, tetapi Ian tetap berjalan terus hingga berhenti disebuah lorong yang di hadapannya terdapat sebuah ruangan yang tertutup. Aku tetap tidak mengerti maksud Ian, hingga perkataannya setelah itu membuatku kaget.
“ Di dalam situ adalah tempat Rio selama ini dirawat. Mungkin sekarang ini dia ada didalam. Masuklah! dengan begitu loe akan dapat jawaban langsung dari dia.”  Ian pun langsung mendorongku masuk tanpa menghiraukan protesku. Ruangan itu tampak putih dan bersih. Suasana didalam sangat sunyi, hanya terdengar suara kertas yang sepertinya sedang dibaca. Lalu terdengar suara Ian memanggil nama Rio.
“ Rio! gue bawa barang bagus nih.” teriak Ian mengagetkan Rio yang sedang membaca “ Apaan sih, kalo mau ganggu tu....”  kata-kata Rio terputus saat ia mendongak dan melihatku ada di depannya, “ Na.. Nana, kenapa.... Ian!” ucapnya sambil terbata-bata dan lansung menoleh ke arah Ian yang sekarang sudah berlari keluar ruangan sambil tertawa-tawa. “ Dasar gak bisa di andalin tu anak!” ucapnya sambil berbisik.
“ Apa kamu gak suka ya, kalo aku ada disini?” tanyaku dengan perasaan kecewa “ Eh... enggak kok. Aku hanya.... haaahhh... maafin aku ya Nana. Aku tau aku salah karena udah bohongin kamu, tapi aku....”
“ Aku udah tau kok kenapa kamu gak bisa nemuin aku langsung. Ian udah cerita semua ke aku. Mungkin dia bawa aku kesini karena banyak yang ingin aku tanyain langsung ke kamu. Jadi.... kamu mau kan jawab semua pertanyaan ku?” tanyaku. Tampak wajah Rio bersalah menatap ke arahku. Dan akhirnya ia setuju untuk menceritakan semua selama ini apa yang belum aku ketahui.
Awalnya ia masih terus meminta maaf ke aku. Akupun hanya bisa tertawa dan tersenyum melihat sikap Rio. Aku tau hal ini sulit untuk diceritakan Rio padaku. Tetapi aku yakin Rio pasti akan menceritakan semuanya padaku. Akupun hanya dapat menunggu penjelasan dari Rio. Rio pun menceritakan kisahnya. Dari umur 6 tahun ia selalu gampang pingsan dan sering masuk rumah sakit. Lalu pada umur 16 tahun, ia terpaksa berhenti sekolah dan menetap di rumah sakit.
Dan yang paling menyedihkan adalah kenyataan ia sekarang ini hanya sendirian. Ayahnya telah meninggal saat ia masih bayi. Dan ibunya sibuk pergi mencari uang untuk biaya pengobatannya, sehingga ibunya menitipkannya ke neneknya yang ada di desa. Tetapi neneknya lalu meninggal. Dan disinilah Rio sekarang berada. Ia mengaku ia tidak kesepian disini, walaupun ibunya jarang menemuinya. Banyak saudaranya sering menjenguknya bila liburan datang, seperti keluarga Ian. Sehingga ia merasa baik-baik saja disini.
Karena saat itu langit sudah gelap, akhirnya aku pun pamit pulang ke Rio. Saat sampai dirumah, aku masih terngiang-ngiang kalimat terakhir Rio saat itu. Ia berkata bahwa ia bahagia dengan keadaanya sekarang. Tapi, saat itu wajahnya tampak sedih. Dan akupun memutuskan untuk mulai sekarang akan memberikan kenangan indah padanya. Dan aku berjanji untuk membuatnya tersenyum.
~ *** ~
            Keesokannya, aku langsung pergi menuju ke rumah sakit. Saat aku sampai di depan ruangan tempat Rio dirawat, aku mendengar suara Ian dari dalam, “ Kenapa loe berpikir gitu?” “ Aku... hanya saja mungkin dia udah nggak mau lagi bertemu dengan orang yang sakit-sakitan seperti aku ini. Siapa coba yang mau deket-deket orang sakit, iya kan?” jawab Rio.
“ Haaah... loe salah! Nana bukanlah cewek kayak gitu tau. Udahlah kalo dia tahu hal ini, bisa-bisa.....” Belum selesai Ian berbicara, akupun membuka pintu dan menyapa mereka berdua, “ Hai, selamat pagi! Maaf yah ganggu, aku bawa apel nih.” ucapku sambil tersenyum dan menaruh apel di meja. Mereka berduapun menatap kaget ke arahku dan berhenti berbicara. Lalu terdengar suara Ian, “ Eee... gue kayaknya da urusan deh. Gue pergi dulu yah... dadah Nana, Rio.” ucapnya sambil keluar ruangan dengan wajah bersalah.
            Di dalam ruangan, Rio hanya menatapku dan sekali lagi meminta maaf. Kalo saja Rio tidak sedang berbaring di ranjang, aku yakin sekali dia pasti meminta maaf padaku sambil bersujud. Akupun tersenyum dan berkata, “ Kata Ian emang bener tadi. Sepertinya kamu belum sepenuhnya kenal aku yah. Oke, mulai sekarang akan kutunjukkan siapa diriku. Jadi, jangan protes yah kalo aku bakal sering-sering kesini, hehe..” kataku. Ian pun terpaku melihatku, dan kemudian berkata, “ Terima kasih yaa...” ucapnya sambil menatapku dan tersenyum. Akupun merasa grogi karena ditatap terus oleh Rio, “ Ehh... iya, emm... ah! Aku kupasin apel yah.” Aku lalu duduk di kursi dan mengupas apel untuk Rio.
            Beberapa kali aku memergoki Rio sedang menapku. Saat aku mendongak, ia selalu mengalihkan pandangan dan berpura-pura melanjutkan membaca buku. Saat sudah selesai mengupas, aku kemudian memberikan 1 kupasan untuk Rio. Rio lalu tertawa dan bertanya padaku, “ Lucu bentuknya, kayak kelinci. Kok bisa?” “ Oh, itu. Aku belajar di buku ketrampilan dari Jepang. Katanya dengan mengupas bentuk kayak gini, bisa buat orang suka makannya. Kamu suka kan?” tanyaku khawatir. “Emh. Lucu kok.” Ia pun tertawa dan memakannya.
            Aku lalu melanjutkan ‘menginterogasinya’ dengan beberapa pertanyaan. Sebab kenapa ia lebih memilih menyuruh Ian berpura-pura menjadi dirinya. Padahal bisa aja dia menyuruh Ian hanya untuk menyampaikan padaku bahwa dia gak bisa datang bertemu. Rio pun menjawab bahwa sebenarnya ia gak ingin mengecewakan diriku. Ia berpikir mungkin saja aku membayangkan Rio itu adalah sosok cowok yang sehat dan keren. Padahal aku lebih menyukai bertemu langsung dengan Rio sekarang ini, dan bukannya tertawa dan bersenang-senang dengan Rio palsu. Saat aku berbicara begitu, Rio langsung kaget dan menatapku. Aku lalu bertanya ada apa, tetapi ia berkata tidak ada apa-apa dan tersenyum sendiri.
            Tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah seorang perawat yang mendorong sebuah kursi roda dan berkata,” Dik Rio, sudah saatnya keliling keluar.” Perawat itu langsung berhenti dan menatapku heran. Akupun memperkenalkan diri, “ Emm... saya Nana. Teman Rio dari kota, salam kenal.” Perawat itu lalu tersenyum dan menatap Rio “ Jadi, dia inikah yang katamu...” belum selesai perawat itu berbicara, Rio langsung menyela, “ Eh... mbak Susi, katanya kita mau jalan-jalan, ayo aku udah siap.” Ia lalu menyingkap selimut. Perawat itu lalu membantu Rio untuk duduk di kursi roda.
            “ Dik Nana, bisakan kamu menemani Rio berjalan-jalan di sekitar sini?saya sedang ada tugas lain, bagaimana?” tanya perawat itu sambil tersenyum padaku. “ Ee.. iya.” aku mengangguk setuju. “ Tunggu! Mbak Susi.. bukannya...” protes Rio. Perawat itu hanya tersenyum dan keluar tanpa menghiraukan protes Rio. Akupun tersenyum melihat tingkah Rio, “ Mau kemana nih?” tanyaku sambil mendorong kursi rodanya keluar ruangan. “ Ke depan Rumah Sakit aja. Biasanya juga kesitu kok. Maaf ya ngrepotin.” ucapnya meminta maaf sambil menoleh ke belakang. “ Gak apa-apa kok, ayo!” kataku sambil mendorong kursi roda dengan semangat.
Kami pun berkeliling taman di depan rumah sakit. Banyak orang disana, ada orang tua yang sedang bermain dengan anaknya yang kecil. Ada juga kerluarga yang sedang berpelukan, menurutku mereka sedang senang karena salah satu anggota keluarga mereka sudah keluar dari sini. Tapi ada juga yang sedang menangis, karena keluarganya masuk kesini. Taman disini sangat indah, banyak bunga warna warni dan pepohonan rindang.
Kamipun berhenti di bawah sebuah pohon “ Disini indah ya, gak kayak rumah sakit dikota yang gersang banget itu.” kataku berkomentar. Rio pun tersenyum dan menanggapi perkataanku barusan, “ Bener kan kataku. Walaupun desa, disini semua masih alami, jadi tempatnya sejuk. Dan ada juga tempat yang pemandangannya kalau lagi matahari terbenam tuh indaahhh banget.”
“ Yang bener? dimana? aku pengen liat.” kataku penasaran. “ Emm... kapan-kapan deh aku tunjukin dimana.” jawab Rio sambil tertawa melihat tingkahku. “ Yaahh.... janji lho yaa.. Kalo kamu udah sehat, anterin aku kesana!” ucapku sambil menunjukkan jari kelingkingku. Rio lalu terdiam dan menatap jari tanganku, dan berkata, “ Eee... iya deh. Aku janji.” ucapnya sambil menautkan jari kelingking kami. Kami pun saling menatap dan tersenyum.
Aku sangat senang karena kami berdua telah membuat janji ‘masa depan’, hingga aku tak sadar perubahan sikap Rio. Saat menatapku ia seakan merasa bersalah padaku. Aku tak mengerti dan menganggap hal ini mungkin hanya perasaanku saja. Aku tak tahu bila di masa depan nanti, aku akan sangat menyesal dengan janji kami sekarang.
~ *** ~
            Hari-hari berikutnya berlangsung seperti mimpi. Aku dan Rio makin dekat tiap harinya, aku tak pernah membayangkan hari-hariku akan sangat menyenangkan seperti ini. Dan detak jantungku selalu berdegup dengan cepat tiap bersama dengan Rio. Pernah ada kejadian saat Rio menyentuh pipiku.
Saat itu, aku tak sengaja terpeleset dan terjatuh, Rio yang melihatku kesakitan langsung menghampiri dan memeriksa lukaku. Ia tampak sangat khawatir dan tak sadar bahwa waktu itu ia sedang menyentuh pipiku. Detak jantungku seketika itu serasa berhenti berdetak, aliran darahku mengalir dengan cepat. Akupun tak bisa berkata apa-apa, dan hanya menatapnya terpaku. Riopun sadar dan mendongak menatapku, mata kami bertemu saat itu. Kami tersadar dan memalingkan wajah, dan sikap kami menjadi canggung satu sama lain. Saat itu aku tak mengerti mengapa jantungku masih saja berdetak.
Pernah juga saat Rio mengelus kepalaku. Ia memuji kehebatanku sambil tersenyum kearahku dan mengelus lembut kepalaku. Dari luar aku membalas senyumnya, tapi didalam, perasaanku begitu tak beraturan. Entah Rio sadar atau tidak, saat itu aku yakin sekali wajahku pasti memerah. Tidak hanya 2 kejadian itu saja, banyak kejadian dimana Rio tak sengaja menyentuhku dan membuat hatiku jadi berdegup tak karuan. Aku tak mengerti perasaan apa ini. Aku berpikir apakah mungkin aku jatuh cinta pada Rio?
Disaat hatiku bimbang, tiba-tiba didalam mimpiku aku mendengar suara Rio berkata sambil berbisik, “ Aku mencintaimu, Nana.” dan aku merasakan seperti ada yang mencium dahiku dengan lembut. Aku lalu terbangun dan kaget saat melihat ternyata aku sedang diruangan dimana Rio dirawat. Saat aku menoleh kebelakang, terlihat Rio sedang menyapaku dan berkata, “ Hei, sudah bangun ya. Tadi kamu tertidur disini aku gak tega bangunin kamu.” Kata Rio sambil tersenyum dan menyeret kursi rodanya kearahku. Aku masih merasa limbung dan hanya berkata, “ Eh iya. Kamu habis darimana?” “ Eee... aku tadi habis dari luar, jalan-jalan dengan Ian tadi sebentar. Kenapa?” tanya Rio.
“ Saat ketiduran tadi aku mimpi aneh, seperti ada yang menciumku gitu. Saat aku bangun ternyata gak ada siapa-siapa disini. Kamu tadi lihat ada orang gak disini?” tanyaku. “ Emm... Gak tuh. Perasaanmu aja kali.” jawab Rio salah tingkah. “Apakah mungkin memang perasaanku saja.” batinku. Tapi entah kenapa aku merasa Rio lah yang melakukan itu, dan andaikan memang benar. Aku akan sangat senang, tapi ternyata bukan.
Tiba-tiba Ian masuk “ Nana, udah sore nih, gue anterin pulang gak nih?” tanyanya mengagetkanku. “ Iya, tunggu bentar.” jawabku sambil mengambil tasku yang ada di meja. “ Rio, aku pulang dulu ya.” “ Iya, hati-hati di jalan. Maaf ya aku gak bisa anterin kamu.” katanya dengan nada menyesal.
“ Gak pa pa kok, sampai jumpa besok.” kataku sambil melambaikan tangan kearahnya dan keluar ruangan bersama Ian. Samar-samar aku mendengar suara Rio menyahut dengan lirih “ Selamat tinggal, Nana.” Aku lalu menoleh kebelakang dan berkata, “ Kenapa harus selamat tinggal sih?” bisikku terheran. “ Da pa?” tanya Ian. “ Enggak da pa pa kok, ayo.” kami lalu pergi meninggalkan rumah sakit.
Sesampainya di rumah, aku kaget melihat kakakku dan ibuku sibuk membereskan barang-barang dan memasukkannya ke koper. Akupun bertanya ke ibuku, “ Ada apa, bu?”
“Ayah tadi dapat kabar kalau pamanmu yang ada di Surabaya sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Ayah sudah berangkat duluan tadi kesana. Besok kita harus berangkat pagi sekali untuk menyusul ayahmu, jadi cepat bereskan barangmu!” kata ibuku “ Tapi.. aku belum berpamitan ke Rio. Aku ke rumah sakit dulu yaa...” ucapku panik dan keluar rumah.
Belum sampai membuka pintu, kakakku menarikku dan menyentakku, “ Nana! Jangan gila kamu. Kamu mau keluar malam-malam begini? kita sekarang sedang terburu-buru. Jangan menyusahkan ibu dengan tindakan kekanak-kanakkan mu ini. Cepat ke kamar dan bereskan barang-barangmu!” bentak kakakku sambil mendorongku ke dalam kamar dan tak menghiraukan protesku. Ia lalu membanting pintu kamarku. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi, akupun menitikkan airmata dan menangis. Samar-samar aku mendengar suara ibu berkata pada kakakku, “ Jangan keras-keras padanya seperti itu.” “ Haahh.. ibu. coba bayangkan, urusan apa sih yang begitu penting hingga ia nekat mau keluar jam segini. Dasar anak nakal!” kata kakakku dengan jengkel.
“ Aku tau bagimu ini gak penting, kak. Tapi bagiku ini adalah hal yang sangat penting sekali. Aku harus menyampaikan kepada Rio bahwa aku tak bisa menemiunya lagi besok. Aku gak mau kami berdua pisah dengan cara begini.” bisikku sambil terisak-isak menahan airmata yang mengalir dengan deras. Setelah beberapa menit, akupun memutuskan untuk mengirimi Rio surat saat aku sampai dirumah besok. Aku lalu menyiapkan barang-barangku dengan lesu dan tak bersemangat.
~ *** ~
            Saat aku sedang menangis dikamar, ditempat lain sedang terjadi perdebatan seru antara 2 orang yang tidak kuketahui. “ Rio, sampai kapan loe mau nyembunyiin hal ini ke Nana? gue gak ngerti jalan pikiran loe deh.” tanya Ian kesal. “ Aku tau. Tapi bisakah kamu sembunyiin hal ini ke Nana sebentar lagi? aku gak mau membuatnya menyesal.” jawab Rio sedih.
            “ Mau sampai kapan? Kenyataan bahwa loe sekarang ini menderita kanker otak dan udah mencapai stadium 4 juga kenyataan bahwa gak mungkin elo bisa ngabulin janji loe dengan Nana itu adalah hal yang harus elo ungkapkan ke dia, Rio! Dan bagaimana perasaan loe ke dia juga. Aku yakin Nana malah akan senang jika loe bicara jujur ke dia.” kata Ian kesal. “ Maafin aku ya Ian. Aku dah banyak ngrepotin kamu. Tapi, aku pingin saat aku sudah tidak ada disini lagi, maukah kamu menyampaikan kata maafku ke Nana?” ucap Rio sambil menatap sepupunya itu dengan wajah sendu.
            “ Udah gue bilangin! Gue gak mau lagi denger ucapan kayak gitu dari mulut loe! Sudahlah, kita hentikan pembicaraan kita sampai disini. Gue mau pulang, udah dipanggil nyokap. Bye” kata Ian sambil keluar ruangan dan tak menoleh sedikitpun. Rio hanya tersenyum melihat tingkah sepupunya itu dan melanjutkan menulis surat.
~ *** ~
          Keesokannya saat kami sedang menunggu kereta, tiba-tiba terdengar  sebuah teriakan memanggil namaku. Aku lalu menoleh kebelakang dan melihat Ian melambaikan tangan padaku. Ia lalu berlari kearahku dan berbicara, “ Nana..hh.. loe harus ikut gue sekarang! Rio sekarang sedang dioperasi..hh... Loe harus liat keadaanya sekarang.” katanya dengan terengah-engah.“ Apa! Tapi, bukankah dia kemarin baik-baik saja?” tanyaku dengan heran “ Itu gue jelasin nanti.”
            Aku lalu menoleh ke arah ibuku dan kakakku untuk meminta ijin. Saat kakakku akan menolak, tiba-tiba ibuku menahannya dan berkata padaku, “ Apakah hal ini sangat penting dan berharga bagimu, nak?” tanya “ Ya!” jawabku dengan tegas dan lantang. Kakakku pun protes pada ibukku, tetapi ibuku menenangkannya dan berkata pada kami berdua, “ Tenang Rita. Apakah kamu sudah lupa dengan motto kita?”  “ Bila kita telah bertemu dengan hal yang berharga bagi kita, jangan lepaskan hal itu. Dan genggamlah dengan erat!” kata kami bertiga secara bersamaan. Kami bertiga lalu tertawa dan paham satu sama lain. Akupun tersenyum pada ibuku dan berlari bersama Ian keluar stasiun.
            Saat diatas motor, Ian lalu menceritakan penyakit Rio yang ternyata sungguh kronis. Ia lalu bercerita padaku bahwa jam 1 pagi tadi, Rio mengalami serangan dan jatuh koma. Sekarang ini ia sedang dioperasi. Ian pagi tadi sudah mencoba menghubungiku, tetapitak bisa. Ia lalu tau bahwa aku akan pulang hari ini, dan iapun menyusul ke stasiun dan menjemputku. Apa yang diceritakan oleh Ian benar-benar membuatku terguncang hingga tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku sangat menyesal karena telah membujuk Rio untuk membuat janji yang sebenarnya tidak dapat ia tepati. Akupun hanya bisa berdoa pada Tuhan, semoga Rio dapat selamat dan tetap ada di dunia ini.
            Akhirnya kami sampai di rumah sakit. Kami lalu bergegas ke ruang operasi tempat Rio di operasi. Saat sampai di depan pintu, aku merasakan perasaan yang tidak enak. Aku lalu perlahan-lahan membuka pintu. Dan pemandangan di depan mataku sungguh membuatku terpukul. Di dalam, ibu dan ayah Ian menangis tersedu-sedu, tampak seorang dokter menjelaskan pada mereka berdua.
Tetapi yang paling membuatku terpaku adalah tampak sebuah tubuh yang terbujur kaku di atas ranjang. Aku sangat mengenal tubuh itu, ia adalah orang yang selama ini menemaniku dengan surat-suratnya, ia adalah orang yang membuat jantungku selalu berdetak tak karuan. Dan saat ini, tubuh itu tak bergerak sedikitpun. Aku lalu mendekat kearahnya dan menyentuh tangannya. Tangannya yang pernah memegangku saat itu sangat hangat, tetapi sekarang hanya dingin yang kurasakan.Aku lalu menatap wajahnya yang terpejam dan tampak bahagia. Dan saat itulah aku sadar ia benar-benar telah tiada.
Tanah tempatku berpijak seakan-akan hilang, tubuhku merasa lemas dan otakku serasa berhenti berpikir. Aku lalu tersungkur sambil tetap memegang tangannya. Aku tak merasakan apapun lagi, semua inderaku seakan lumpuh dan tak berfungsi. Airmatakupun terjatuh, pecah sudah tangisku. Terisak-isak ku memanggil namanya, tetapi tak ada respon darinya. Tak ada kata-kata yang dapat mengungkapkan perasaanku saat itu. Semua berjalan seperti film yag diputar dengan cepat.
Saat tersadar, aku sudah berada di depan makam tempat Rio sekarang berbaring. Disebelahku terdapat Ian yang mencoba menghiburku. Aku tau Ian pun juga ikut bersedih, bahkan mungkin ialah yang paling sedih diantara kami semua yang ada disini. Karena bagi Ian, Rio seperti kembaranya sendiri. Saat susah dan senang adalah hal bersama bagi mereka berdua, aku tahu itu. Disinilah aku mengenang kembali kenanganku bersama Rio. Saat aku pertama kali menerima surat ajakan berteman darinya, saat kami pertama kali bertemu, ataupun saat kami tersenyum dan tertawa bersama. Akupun menyesal karena hanya sedikit waktuku yang kuhabiskan bersama dengan Rio. Tetapi aku tersadar bahwa aku ternyata ‘mencintai’ Rio selama ini.
Saat akan pergi, aku melihat ibu Rio bersimpuh dan memeluk nisan Rio sambil menangis. Aku lalu mendatangi dan menyerahkan surat Rio yang kebetulan sedang kubawa saat itu pada ibunya. Ibunya kaget dan terheran melihatku. Akupun bercerita bahwa selama ini aku dan Rio telah bersurat-suratan. Akupun menyerahkan semua surat Rio dengan harapan itu akan menjadi kenangan untuk ibunya. Ibunya lalu berterima kasih padaku dan tersenyum. Saat itu aku langsung mengingat senyum Rio. Aku lalu membalas tersenyum dan pergi meninggalkan makam Rio.
“ Hati-hati dijalan ya, Nana. Sampaikan salam gue ke keluarga loe.” ucap Ian saat mengantarku di stasiun. Saat aku akan berbalik pergi, tiba-tiba Ian memanggilku kembali dan berkata, “ Nana, gue lupa ada hal yang belum gue sampaikan ke elo, Rio ingin gue menyampaikan hal ini ke elo ‘maafkan aku dan terima kasih Nana’. Itulah pesan Rio buat loe. Dan juga... sebenarnya selama ini dia sangat mencintai loe, tetapi ia tak sempat menyampaikanya ke elo. Jadi gue sampaiin ini ke elo.” Perkataan Ian saat itu benar-benar membuatku kaget. Apa yang aku rasakan ternyata juga dirasakan oleh Rio. Tetapi ironisnya, kami berdua bahkan tak sempat menyatakan langsung satu sama lain.
Akupun menangis dalam penjalanan pulang, dan tangisku tetap tak berhenti hingga aku tiba di rumah. Keluargaku hanya diam dan mengerti dengan keadaanku saat itu. Setelah 1 minggu berselang, tiba-tiba datang surat yang ditujukan untukku. Aku punhanya terheran, dan saat membukanya di kamar, aku terkaget karena Rio lah pengirim surat itu. Tanggal yang tertulis di surat itu menandakan tepat 1 hari sebelum ia meninggal. Aku lalu bergegas membuka surat itu dan membacanya. Airmatakupun menitik dan tangisku pecah. Aku menggenggam erat surat terakhir dari Rio, dimana semua perasaannya tertuang disana untukku. Aku lalu menyimpan surat itu ditempat yang aman sebagai kenangan terindahku...
~ *** ~
            Itulah pengalamanku pertama kali mencintai orang dan pertama kali merasakan perih karena tak bisa bersatu dengan oranga yang kucintai. Saat mengingat kembali pengalaman itu, airmataku kembali menitik. Sebelum menerima surat itu, Aku selalu berpikir seandainya Tuhan mempertemukan aku dan Rio dari dulu, atau andaikan aku dan Rio diberi waktu yang lebih panjang untuk kami berdua saling mengungkapkan perasaan kami satu sama lain. Tapi, setelah membaca surat Rio, aku tahu bahwa aku harus mengabulkan permohonan terakhir Rio. Walaupun sekarang aku telah dewasa, tetapi aku masih tetap mengingat Rio. Dan selalu mengeluarkan airmata saat mengenangnya kembali.
            Tiba-tiba terdengar suara ibuku dan berkata, “ Nana, Ian tadi menelepon dan bilang kalau ia sekarang ada di stasiun. Cepat jemput dia! dan... ya ampun.... kamarmu berantakan sekali, cepat bereskan!” kata ibuku sambil keluar kamarku. Aku lalu berdiri dan menaruh surat yang sedari tadi kugenggam kedalam kotak. Akupun tersenyum sendiri sambil menutup kotak itu. Aku lalu berlari keluar kamar dan menyambut masa depanku.
~ *** ~
Dear Nana,
          Terima kasih karena telah menemaniku selama ini. Aku sangat bahagia karena kau telah datang untukku. Saat surat ini sampai di tanganmu, mungkin aku sudah tak ada di dunia ini lagi. Maafkan aku karena tak dapat memenuhi janjiku padamu. Bukan karena aku tak ingin bertemu lagi denganmu, tetapi sudah saatnya Tuhan memanggilku, maafkan aku Nana....
          Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu dari dulu. Saat pertama kali melihat kiriman fotomu, aku merasakan perasaan yang hangat di dadaku. Senyummu dalam foto telah membangkitkan semangat hidupku selama ini. Dan saat itulah aku sadar bahwa aku telah jatuh cinta pada gadis yang ada di foto itu, yaitu kamu. Dan saat pertama kali kita bertemu langsung, aku merasakan getaran dan detak jantungku berdegup kencang saat melihat senyum di wajahmu yang kau tujukan padaku. Aku tau hal ini terlambat untuk dikatakan padamu. Tapi, aku ingin kau tau bahwa aku selama ini selalu mencintaimu.
          Di surat terakhirku ini, maukah kau mengabulkan 1 permintaanku? Yang aku inginkan hanyalah “ Teruslah hidup dan tersenyum untukku juga”. Kabulkanlah permohonanku ini, maukah kau?
          Terimakasih karena telah hadir dalam hidupku  Nana,  sahabat dan orang yang kucintai.
                                                                                           Love, Rio

Tidak ada komentar:

Posting Komentar