Kan Ku Kenang Selalu....
Oleh
: El_Ch@n
Percayakah
kalian cinta dapat berawal dari sebuah surat? Mungkin bagi kalian tidak, tapi
bagiku hal itu adalah mungkin. Karena aku pernah merasakan cinta yang hanya
berawal dari surat menyurat. Bagi kalian ini mungkin adalah hal konyol, tetapi
bagiku tidak. Karena cinta dapat tumbuh dan muncul di hati siapapun tanpa kita
duga. Dan itulah yang pernah aku alami, masih segar di ingatan ku pengalaman
indah saat itu. Saat dimana kenyataan dan perasaan cinta datang menerpaku.
Kisah ini dimulai saat awal liburan panjangku di desa.
~ *** ~
“
Nanaa... ayo cepat siap-siap. Besok kita harus mulai berangkat, Nak!” terdengar
suara nyaring Ibuku dari arah dapur di lantai bawah. “ Iyaa Ma ” jawabku sambil
berteriak.
Di
liburan panjang kali ini, aku dan sekeluarga memutuskan untuk berlibur ke rumah
nenek di desa. Ini adalah pengalaman pertamaku berkunjung di desa, dan aku
sangat menantinya. Dan kebetulan sekali bahwa tempat tinggal “sahabat pena” ku
juga ada disana, dimana nenek tinggal.
Mungkin
menurut kalian “sahabat pena” itu adalah hal yang kampungan dan sudah tidak
zaman lagi. Tapi menurutku hal ini menarik, malah lebih menyenangkan daripada
berkirim sms melalui handphone. Karena menurutku, dari tulisan pada suratlah
kita dapat mengetahui sifat seseorang dan perasaan yang dialaminya saat itu. Maka
dari itu, aku lebih memilih berkirim surat. Dan hingga sekarang aku sudah
mempunyai sahabat pena yang menyenangkan, namanya Rio. Jadi, aku memutuskan
untuk mengunjungi sahabat penaku ini.
Saat
sedang asyik menulis surat balasan untuk Rio, tiba-tiba pintu kamarku terbuka
dan terdengar suara kakakku, Rita yang melengking.
“
Hei, Na. Mau sampai kapan kamu nulis surat terus? Ayo cepat siap-siap. Mama
dari tadi sudah menyuruhmu kan. Besok ditinggal baru tau rasa kamu!” “ Iya
iyaa.. bentar lagi juga udah selesai kok. Bawel deh.” Jawabku dengan jengkel.
Akupun memasukkan surat kedalam amplop dan menempelkan perangko. Tiba-tiba saja
terdengar suara kakakku di belakangku.
“
Kamu sampai sekarang masih surat suratan yah ama temen cowok misteriusmu itu?
Gak keren banget sih kamu.” ejeknya “ Biarin. Lagian Rio tuh bukan cowok
misterius, aku udah kenal dia kok. Aku tau dia siapa, tinggal dimana, hobinya
apa, orang yang dikaguminya, cita-citanya, dan....”
“
Iya-iya aku tau. Udah sana selesain suratmu itu. Gak minat aku ama yang
begituan.” Selanya dengan kesal “ Lagian yang namanya belum tatap muka tuh
tetep disebut misterius tauuu’..... weeekk.” Kata kakakku sambil menjulurkan
lidahnya dan berlari keluar kamar dengan tertawa. “ Huh.. dasar nyebelin. Entar
juga aku bakal bertemu dengan dia kok.” Kataku dengan kesal.
Aku
tahu bahwa mungkin saja Rio berbohong padaku selama ini. Tapi entah mengapa aku
tetap percaya padanya. Dan saat ini aku ingin membuktikan hal itu dengan
menemuinya besok. Pasti saat surat ini sampai padanya, ia akan terkejut karena
aku akan datang menemuinya dengan tiba-tiba. Jadi ia tidak dapat menolak lagi.
Akupun
menyiapkan alat-alat dan baju yang akan aku bawa besok. Dan mengirimkan surat
balasanku utuk Rio ke kantor pos. Tidak lupa akupun berdo’a semoga besok
perjalanan akan lancar dan aku bisa bertemu denga Rio, sahabat yang kunanti.
~ *** ~
Keesokan
harinya, setelah aku sampai di desa. Akupun pergi menuju stasiun dan menunggu
Rio disana, dimana aku sudah berjanji akan menunggunya dalam suratku kemarin.
Sudah hampir satu jam aku duduk menunggu, tetapi tak tampak seseorang yang
datang menghampiriku. Saat aku mulai beranjak pergi, tiba-tiba datang seorang
laki-laki yang kira-kira sebaya dengan ku datang tergesa-gesa menghampiriku. Ia
pun berhenti di depanku daan berkata,
“
Nana kan? Sorry ya, emm... maksudku maaf ya lama nunggu.” Ucapnya sambil terengah-engah.
Setelah beberapa detik, ia sadar aku hanya terdiam dan menatapnya dengan heran.
Ia pun berkata, “ Aduh maaf yah belum ngenalin diri. Gue Ri.. eh maksudku aku
Rio, hai.”
“
Iya, aku Nana. Aku senang akhirnya bisa bertemu juga denganmu. Makanya aku
kehilanga kata-kata, hehehe...sorry.” kataku meminta maaf
“
Hooh... begitu ya. Oke deh, karena katamu kamu baru pertama kali kesini. Jadi
aku akan dengan senang hati menjadi pemandumu. Akan kutunjukkan daya tarik desa
ini. Let’s go, eh maksudku ayo, ehe...” ajaknya dengan suara riang
Kami
pun berkeliling desa. Rio menunjukkan beberapa tempat indah kepadaku. Ia
menunjukkan sawah yang hijau, taman yang penuh dengan pohon dan tanaman
berbunga yang indah sekali. Ia juga mengajakku ke warung yang menjual rujak
pedas tetapi sangat enak sekali.
Aku
sangat senang dengan perjalanan kami. Tetapi aku merasa ada yang berbeda dengan
Rio. Jika Rio yang ada di surat mengatakan benci pedas, beda dengan Rio yang
ada di hadapanku, dia sangat lahap sekali makan rujak pedas yang ada di warung
tadi. Dan Rio di hadapan ku ini selalu keceplosan berbicara dengan bahasa gaul
padaku, padahal selama ini Rio selalu menggunakan bahasa yang sopan padaku di
surat. Dan aku sangat curiga pada hal ini. Apakah mungkin seseorang dapat berubah
secepat ini? Atau jangan-jangan......
“ Eh, Rio. Apa
hobimu?” Karena penasaran, akupun memutuskan untuk mencari tahu.
“ Ehm.. aku suka main sepak bola. Ada
apa? Mau main yah?”
“ Lalu, siapa orang yang kamu kagumi?” “ David
Beckam donk, kenapa ...”
“ Apa cita-cita
mu?” selaku dengan tajam “ Aku pengen jadi pemain bola yang hebat! kenapa sih
tanya-tanya terus?” jawabnya dengan kesal. Saat itulah aku mendapat kepastian
dari rasa penasaranku.
“ Siapa kamu?”
tanya ku dengan singkat “ Apaan sih, aku Rio lah.” jawabnya gugup. “ Jangan
bohong! aku tau siapa Rio. Rio itu cowok yang kata-katanya sopan, tidak suka
makanan pedas, hobinya membaca, dan Ia sangat mengagumi Ir. Soekarno.” Rio pun
hanya terdiam dan menatapku terkejut.
“ Dan, yang
lebih penting adalah ia bercita-cita untuk menjadi seorang Presiden. Bukannya
pemain sepak bola.” lanjutku dengan suara lirih “ Aku... aku membohongimu
selama ini, puas!” katanya mengelak “ Tidak... tidak, aku sangat yakin Rio
tidak membohongiku selama ini. Dan kalaupun iya, seharusnya kamu tidak mungkin
berani menemuiku disini. Kalau kamu tau aku ada disini, berarti kamu ada
hubungan dengan Rio. Jadi, siapakah kamu ini? Dan ada dimana Rio sekarang?”
kataku dengan tajam.
“ Haah....
sepertinya gue udah gak bisa membohongi loe lagi. Loe emang cewek yang keras
kepala ya.” candanya sambil tersenyum “ Aku tidak butuh pujian, aku hanya butuh jawaban yang jujur!” jawabku dengan ketus.
“ Hei, hei...
jangan marah donk. Gue minta maaf, gue Ian. Sepupunya Rio dari kota, tiap
liburan gue sekeluarga juga sering kesini. Kenapa loe bisa tau kalo gue bukan
Rio? Masa’ hanya karena kesukaan kita beda, loe bisa tau sih?” tanya Reza
penasaran “ Jangan ngremehin insting cewek yah.” Jawabku sambil tersenyum.
“ Ck.. ck.. ck
lain kali gue bakal ati-ati deh kalo berurusan ama cewek, hehehe.” “ Iyalah.
Lalu... Rio sekarang kemana? Kenapa dia gak mau nemuin aku sendiri?” tanyaku
dengan heran.
“ Ehm... bukanya dia gak mau, cuman dia gak
bisa. Apa yang loe ketahui tentang Rio itu belum semuanya. Ada beberapa hal
yang disembunyiin Rio ke elo. Dan gue udah janji untuk gak bilang hal ini ke
elo. Yakin loe pingin denger kebenarannya?” tanya Ian dengan sungguh-sungguh.
Aku hanya mengangguk. Karena aku begitu penasaran dengan apa yang sebenarnya
Rio sembunyiin dari ku.
“ Oke, gue juga
merasa loe emang seharusnya tau tentang hal ini. Inilah kebenarannya, bahwa Rio
sekarang ini sedang dirawat di rumah sakit. Dia menderita penyakit yang parah,
penyakit ini makin lama makin membuat tubuhnya melemah tiap tahunnya. Dan
sekarang ini, ia hanya dapat beraktifitas di rumah sakit saja. Jadi, loe udah
tau kan kenapa Rio gak bisa nemui loe langsung.” Kata Ian dengan wajah sendu
“ Aku tak
menyangka kenyataannya akan sangat berbeda dengan pikiran dan dugaanku semula.
Aku mengira bahwa Rio dan dirimu sekarang ini sedang mempermainkanku, maaf ya
aku seenaknya saja menyimpulkan.” kataku meminta maaf “ Emh, loe gak salah kok.
Gue ma Rio emang udah salah karena ngrencanain hal kayak gini ke elo.”
“ Tapi, kenapa
Rio gak ngomong langsung aja bahwa dia gak bisa ketemu dan alasanya bahwa dia
sedang sakit? kenapa harus berbohong? aku gak ngerti.” Tanyaku dengan kesal “
Emm... lebih baik sekarang loe ikut gue deh. Biar semuanya lebih jelas, yuk!”
ajaknya dengan memaksa.
Akupun hanya
pasrah mengikuti Ian. Dan akhirnya kami sampai di sebuah bangunan rumah sakit
yang bernama “ Rumah Sakit Permata Bunda”. Akupun hanya menatap heran ke arah
Ian, tetapi Ian tetap berjalan terus hingga berhenti disebuah lorong yang di
hadapannya terdapat sebuah ruangan yang tertutup. Aku tetap tidak mengerti
maksud Ian, hingga perkataannya setelah itu membuatku kaget.
“ Di dalam situ
adalah tempat Rio selama ini dirawat. Mungkin sekarang ini dia ada didalam.
Masuklah! dengan begitu loe akan dapat jawaban langsung dari dia.” Ian pun langsung mendorongku masuk tanpa
menghiraukan protesku. Ruangan itu tampak putih dan bersih. Suasana didalam
sangat sunyi, hanya terdengar suara kertas yang sepertinya sedang dibaca. Lalu
terdengar suara Ian memanggil nama Rio.
“ Rio! gue bawa
barang bagus nih.” teriak Ian mengagetkan Rio yang sedang membaca “ Apaan sih,
kalo mau ganggu tu....” kata-kata Rio
terputus saat ia mendongak dan melihatku ada di depannya, “ Na.. Nana,
kenapa.... Ian!” ucapnya sambil terbata-bata dan lansung menoleh ke arah Ian
yang sekarang sudah berlari keluar ruangan sambil tertawa-tawa. “ Dasar gak
bisa di andalin tu anak!” ucapnya sambil berbisik.
“ Apa kamu gak
suka ya, kalo aku ada disini?” tanyaku dengan perasaan kecewa “ Eh... enggak
kok. Aku hanya.... haaahhh... maafin aku ya Nana. Aku tau aku salah karena udah
bohongin kamu, tapi aku....”
“ Aku udah tau
kok kenapa kamu gak bisa nemuin aku langsung. Ian udah cerita semua ke aku.
Mungkin dia bawa aku kesini karena banyak yang ingin aku tanyain langsung ke kamu.
Jadi.... kamu mau kan jawab semua pertanyaan ku?” tanyaku. Tampak wajah Rio
bersalah menatap ke arahku. Dan akhirnya ia setuju untuk menceritakan semua
selama ini apa yang belum aku ketahui.
Awalnya ia masih
terus meminta maaf ke aku. Akupun hanya bisa tertawa dan tersenyum melihat
sikap Rio. Aku tau hal ini sulit untuk diceritakan Rio padaku. Tetapi aku yakin
Rio pasti akan menceritakan semuanya padaku. Akupun hanya dapat menunggu
penjelasan dari Rio. Rio pun menceritakan kisahnya. Dari umur 6 tahun ia selalu
gampang pingsan dan sering masuk rumah sakit. Lalu pada umur 16 tahun, ia terpaksa
berhenti sekolah dan menetap di rumah sakit.
Dan yang paling
menyedihkan adalah kenyataan ia sekarang ini hanya sendirian. Ayahnya telah
meninggal saat ia masih bayi. Dan ibunya sibuk pergi mencari uang untuk biaya
pengobatannya, sehingga ibunya menitipkannya ke neneknya yang ada di desa.
Tetapi neneknya lalu meninggal. Dan disinilah Rio sekarang berada. Ia mengaku
ia tidak kesepian disini, walaupun ibunya jarang menemuinya. Banyak saudaranya
sering menjenguknya bila liburan datang, seperti keluarga Ian. Sehingga ia
merasa baik-baik saja disini.
Karena saat itu
langit sudah gelap, akhirnya aku pun pamit pulang ke Rio. Saat sampai dirumah,
aku masih terngiang-ngiang kalimat terakhir Rio saat itu. Ia berkata bahwa ia
bahagia dengan keadaanya sekarang. Tapi, saat itu wajahnya tampak sedih. Dan
akupun memutuskan untuk mulai sekarang akan memberikan kenangan indah padanya.
Dan aku berjanji untuk membuatnya tersenyum.
~ *** ~
Keesokannya,
aku langsung pergi menuju ke rumah sakit. Saat aku sampai di depan ruangan
tempat Rio dirawat, aku mendengar suara Ian dari dalam, “ Kenapa loe berpikir
gitu?” “ Aku... hanya saja mungkin dia udah nggak mau lagi bertemu dengan orang
yang sakit-sakitan seperti aku ini. Siapa coba yang mau deket-deket orang
sakit, iya kan?” jawab Rio.
“ Haaah... loe
salah! Nana bukanlah cewek kayak gitu tau. Udahlah kalo dia tahu hal ini,
bisa-bisa.....” Belum selesai Ian berbicara, akupun membuka pintu dan menyapa
mereka berdua, “ Hai, selamat pagi! Maaf yah ganggu, aku bawa apel nih.” ucapku
sambil tersenyum dan menaruh apel di meja. Mereka berduapun menatap kaget ke
arahku dan berhenti berbicara. Lalu terdengar suara Ian, “ Eee... gue kayaknya
da urusan deh. Gue pergi dulu yah... dadah Nana, Rio.” ucapnya sambil keluar
ruangan dengan wajah bersalah.
Di
dalam ruangan, Rio hanya menatapku dan sekali lagi meminta maaf. Kalo saja Rio
tidak sedang berbaring di ranjang, aku yakin sekali dia pasti meminta maaf
padaku sambil bersujud. Akupun tersenyum dan berkata, “ Kata Ian emang bener
tadi. Sepertinya kamu belum sepenuhnya kenal aku yah. Oke, mulai sekarang akan
kutunjukkan siapa diriku. Jadi, jangan protes yah kalo aku bakal sering-sering
kesini, hehe..” kataku. Ian pun terpaku melihatku, dan kemudian berkata, “
Terima kasih yaa...” ucapnya sambil menatapku dan tersenyum. Akupun merasa
grogi karena ditatap terus oleh Rio, “ Ehh... iya, emm... ah! Aku kupasin apel
yah.” Aku lalu duduk di kursi dan mengupas apel untuk Rio.
Beberapa
kali aku memergoki Rio sedang menapku. Saat aku mendongak, ia selalu
mengalihkan pandangan dan berpura-pura melanjutkan membaca buku. Saat sudah
selesai mengupas, aku kemudian memberikan 1 kupasan untuk Rio. Rio lalu tertawa
dan bertanya padaku, “ Lucu bentuknya, kayak kelinci. Kok bisa?” “ Oh, itu. Aku
belajar di buku ketrampilan dari Jepang. Katanya dengan mengupas bentuk kayak
gini, bisa buat orang suka makannya. Kamu suka kan?” tanyaku khawatir. “Emh.
Lucu kok.” Ia pun tertawa dan memakannya.
Aku
lalu melanjutkan ‘menginterogasinya’ dengan beberapa pertanyaan. Sebab kenapa
ia lebih memilih menyuruh Ian berpura-pura menjadi dirinya. Padahal bisa aja
dia menyuruh Ian hanya untuk menyampaikan padaku bahwa dia gak bisa datang
bertemu. Rio pun menjawab bahwa sebenarnya ia gak ingin mengecewakan diriku. Ia
berpikir mungkin saja aku membayangkan Rio itu adalah sosok cowok yang sehat
dan keren. Padahal aku lebih menyukai bertemu langsung dengan Rio sekarang ini,
dan bukannya tertawa dan bersenang-senang dengan Rio palsu. Saat aku berbicara
begitu, Rio langsung kaget dan menatapku. Aku lalu bertanya ada apa, tetapi ia
berkata tidak ada apa-apa dan tersenyum sendiri.
Tiba-tiba
pintu terbuka dan masuklah seorang perawat yang mendorong sebuah kursi roda dan
berkata,” Dik Rio, sudah saatnya keliling keluar.” Perawat itu langsung
berhenti dan menatapku heran. Akupun memperkenalkan diri, “ Emm... saya Nana.
Teman Rio dari kota, salam kenal.” Perawat itu lalu tersenyum dan menatap Rio “
Jadi, dia inikah yang katamu...” belum selesai perawat itu berbicara, Rio
langsung menyela, “ Eh... mbak Susi, katanya kita mau jalan-jalan, ayo aku udah
siap.” Ia lalu menyingkap selimut. Perawat itu lalu membantu Rio untuk duduk di
kursi roda.
“
Dik Nana, bisakan kamu menemani Rio berjalan-jalan di sekitar sini?saya sedang
ada tugas lain, bagaimana?” tanya perawat itu sambil tersenyum padaku. “ Ee..
iya.” aku mengangguk setuju. “ Tunggu! Mbak Susi.. bukannya...” protes Rio.
Perawat itu hanya tersenyum dan keluar tanpa menghiraukan protes Rio. Akupun
tersenyum melihat tingkah Rio, “ Mau kemana nih?” tanyaku sambil mendorong
kursi rodanya keluar ruangan. “ Ke depan Rumah Sakit aja. Biasanya juga kesitu
kok. Maaf ya ngrepotin.” ucapnya meminta maaf sambil menoleh ke belakang. “ Gak
apa-apa kok, ayo!” kataku sambil mendorong kursi roda dengan semangat.
Kami pun
berkeliling taman di depan rumah sakit. Banyak orang disana, ada orang tua yang
sedang bermain dengan anaknya yang kecil. Ada juga kerluarga yang sedang
berpelukan, menurutku mereka sedang senang karena salah satu anggota keluarga
mereka sudah keluar dari sini. Tapi ada juga yang sedang menangis, karena
keluarganya masuk kesini. Taman disini sangat indah, banyak bunga warna warni
dan pepohonan rindang.
Kamipun berhenti
di bawah sebuah pohon “ Disini indah ya, gak kayak rumah sakit dikota yang
gersang banget itu.” kataku berkomentar. Rio pun tersenyum dan menanggapi
perkataanku barusan, “ Bener kan kataku. Walaupun desa, disini semua masih
alami, jadi tempatnya sejuk. Dan ada juga tempat yang pemandangannya kalau lagi
matahari terbenam tuh indaahhh banget.”
“ Yang bener?
dimana? aku pengen liat.” kataku penasaran. “ Emm... kapan-kapan deh aku
tunjukin dimana.” jawab Rio sambil tertawa melihat tingkahku. “ Yaahh.... janji
lho yaa.. Kalo kamu udah sehat, anterin aku kesana!” ucapku sambil menunjukkan
jari kelingkingku. Rio lalu terdiam dan menatap jari tanganku, dan berkata, “
Eee... iya deh. Aku janji.” ucapnya sambil menautkan jari kelingking kami. Kami
pun saling menatap dan tersenyum.
Aku sangat
senang karena kami berdua telah membuat janji ‘masa depan’, hingga aku tak
sadar perubahan sikap Rio. Saat menatapku ia seakan merasa bersalah padaku. Aku
tak mengerti dan menganggap hal ini mungkin hanya perasaanku saja. Aku tak tahu
bila di masa depan nanti, aku akan sangat menyesal dengan janji kami sekarang.
~ *** ~
Hari-hari
berikutnya berlangsung seperti mimpi. Aku dan Rio makin dekat tiap harinya, aku
tak pernah membayangkan hari-hariku akan sangat menyenangkan seperti ini. Dan
detak jantungku selalu berdegup dengan cepat tiap bersama dengan Rio. Pernah
ada kejadian saat Rio menyentuh pipiku.
Saat itu, aku
tak sengaja terpeleset dan terjatuh, Rio yang melihatku kesakitan langsung
menghampiri dan memeriksa lukaku. Ia tampak sangat khawatir dan tak sadar bahwa
waktu itu ia sedang menyentuh pipiku. Detak jantungku seketika itu serasa
berhenti berdetak, aliran darahku mengalir dengan cepat. Akupun tak bisa
berkata apa-apa, dan hanya menatapnya terpaku. Riopun sadar dan mendongak
menatapku, mata kami bertemu saat itu. Kami tersadar dan memalingkan wajah, dan
sikap kami menjadi canggung satu sama lain. Saat itu aku tak mengerti mengapa
jantungku masih saja berdetak.
Pernah juga saat
Rio mengelus kepalaku. Ia memuji kehebatanku sambil tersenyum kearahku dan
mengelus lembut kepalaku. Dari luar aku membalas senyumnya, tapi didalam,
perasaanku begitu tak beraturan. Entah Rio sadar atau tidak, saat itu aku yakin
sekali wajahku pasti memerah. Tidak hanya 2 kejadian itu saja, banyak kejadian
dimana Rio tak sengaja menyentuhku dan membuat hatiku jadi berdegup tak karuan.
Aku tak mengerti perasaan apa ini. Aku berpikir apakah mungkin aku jatuh cinta
pada Rio?
Disaat hatiku
bimbang, tiba-tiba didalam mimpiku aku mendengar suara Rio berkata sambil
berbisik, “ Aku mencintaimu, Nana.” dan aku merasakan seperti ada yang mencium
dahiku dengan lembut. Aku lalu terbangun dan kaget saat melihat ternyata aku
sedang diruangan dimana Rio dirawat. Saat aku menoleh kebelakang, terlihat Rio
sedang menyapaku dan berkata, “ Hei, sudah bangun ya. Tadi kamu tertidur disini
aku gak tega bangunin kamu.” Kata Rio sambil tersenyum dan menyeret kursi
rodanya kearahku. Aku masih merasa limbung dan hanya berkata, “ Eh iya. Kamu
habis darimana?” “ Eee... aku tadi habis dari luar, jalan-jalan dengan Ian tadi
sebentar. Kenapa?” tanya Rio.
“ Saat ketiduran
tadi aku mimpi aneh, seperti ada yang menciumku gitu. Saat aku bangun ternyata
gak ada siapa-siapa disini. Kamu tadi lihat ada orang gak disini?” tanyaku. “
Emm... Gak tuh. Perasaanmu aja kali.” jawab Rio salah tingkah. “Apakah mungkin
memang perasaanku saja.” batinku. Tapi entah kenapa aku merasa Rio lah yang
melakukan itu, dan andaikan memang benar. Aku akan sangat senang, tapi ternyata
bukan.
Tiba-tiba Ian
masuk “ Nana, udah sore nih, gue anterin pulang gak nih?” tanyanya
mengagetkanku. “ Iya, tunggu bentar.” jawabku sambil mengambil tasku yang ada
di meja. “ Rio, aku pulang dulu ya.” “ Iya, hati-hati di jalan. Maaf ya aku gak
bisa anterin kamu.” katanya dengan nada menyesal.
“ Gak pa pa kok,
sampai jumpa besok.” kataku sambil melambaikan tangan kearahnya dan keluar
ruangan bersama Ian. Samar-samar aku mendengar suara Rio menyahut dengan lirih
“ Selamat tinggal, Nana.” Aku lalu menoleh kebelakang dan berkata, “ Kenapa
harus selamat tinggal sih?” bisikku terheran. “ Da pa?” tanya Ian. “ Enggak da
pa pa kok, ayo.” kami lalu pergi meninggalkan rumah sakit.
Sesampainya di
rumah, aku kaget melihat kakakku dan ibuku sibuk membereskan barang-barang dan
memasukkannya ke koper. Akupun bertanya ke ibuku, “ Ada apa, bu?”
“Ayah tadi dapat
kabar kalau pamanmu yang ada di Surabaya sekarang sedang dirawat di rumah
sakit. Ayah sudah berangkat duluan tadi kesana. Besok kita harus berangkat pagi
sekali untuk menyusul ayahmu, jadi cepat bereskan barangmu!” kata ibuku “
Tapi.. aku belum berpamitan ke Rio. Aku ke rumah sakit dulu yaa...” ucapku
panik dan keluar rumah.
Belum sampai
membuka pintu, kakakku menarikku dan menyentakku, “ Nana! Jangan gila kamu.
Kamu mau keluar malam-malam begini? kita sekarang sedang terburu-buru. Jangan
menyusahkan ibu dengan tindakan kekanak-kanakkan mu ini. Cepat ke kamar dan
bereskan barang-barangmu!” bentak kakakku sambil mendorongku ke dalam kamar dan
tak menghiraukan protesku. Ia lalu membanting pintu kamarku. Aku tak bisa
berbuat apa-apa lagi, akupun menitikkan airmata dan menangis. Samar-samar aku mendengar
suara ibu berkata pada kakakku, “ Jangan keras-keras padanya seperti itu.” “
Haahh.. ibu. coba bayangkan, urusan apa sih yang begitu penting hingga ia nekat
mau keluar jam segini. Dasar anak nakal!” kata kakakku dengan jengkel.
“ Aku tau bagimu
ini gak penting, kak. Tapi bagiku ini adalah hal yang sangat penting sekali.
Aku harus menyampaikan kepada Rio bahwa aku tak bisa menemiunya lagi besok. Aku
gak mau kami berdua pisah dengan cara begini.” bisikku sambil terisak-isak
menahan airmata yang mengalir dengan deras. Setelah beberapa menit, akupun
memutuskan untuk mengirimi Rio surat saat aku sampai dirumah besok. Aku lalu
menyiapkan barang-barangku dengan lesu dan tak bersemangat.
~ *** ~
Saat
aku sedang menangis dikamar, ditempat lain sedang terjadi perdebatan seru
antara 2 orang yang tidak kuketahui. “ Rio, sampai kapan loe mau nyembunyiin
hal ini ke Nana? gue gak ngerti jalan pikiran loe deh.” tanya Ian kesal. “ Aku
tau. Tapi bisakah kamu sembunyiin hal ini ke Nana sebentar lagi? aku gak mau
membuatnya menyesal.” jawab Rio sedih.
“
Mau sampai kapan? Kenyataan bahwa loe sekarang ini menderita kanker otak dan
udah mencapai stadium 4 juga kenyataan bahwa gak mungkin elo bisa ngabulin
janji loe dengan Nana itu adalah hal yang harus elo ungkapkan ke dia, Rio! Dan
bagaimana perasaan loe ke dia juga. Aku yakin Nana malah akan senang jika loe
bicara jujur ke dia.” kata Ian kesal. “ Maafin aku ya Ian. Aku dah banyak
ngrepotin kamu. Tapi, aku pingin saat aku sudah tidak ada disini lagi, maukah
kamu menyampaikan kata maafku ke Nana?” ucap Rio sambil menatap sepupunya itu
dengan wajah sendu.
“
Udah gue bilangin! Gue gak mau lagi denger ucapan kayak gitu dari mulut loe!
Sudahlah, kita hentikan pembicaraan kita sampai disini. Gue mau pulang, udah
dipanggil nyokap. Bye” kata Ian sambil keluar ruangan dan tak menoleh
sedikitpun. Rio hanya tersenyum melihat tingkah sepupunya itu dan melanjutkan
menulis surat.
~ *** ~
Keesokannya
saat kami sedang menunggu kereta, tiba-tiba terdengar sebuah teriakan memanggil namaku. Aku lalu
menoleh kebelakang dan melihat Ian melambaikan tangan padaku. Ia lalu berlari
kearahku dan berbicara, “ Nana..hh.. loe harus ikut gue sekarang! Rio sekarang
sedang dioperasi..hh... Loe harus liat keadaanya sekarang.” katanya dengan
terengah-engah.“ Apa! Tapi, bukankah dia kemarin baik-baik saja?” tanyaku
dengan heran “ Itu gue jelasin nanti.”
Aku
lalu menoleh ke arah ibuku dan kakakku untuk meminta ijin. Saat kakakku akan
menolak, tiba-tiba ibuku menahannya dan berkata padaku, “ Apakah hal ini sangat
penting dan berharga bagimu, nak?” tanya “ Ya!” jawabku dengan tegas dan
lantang. Kakakku pun protes pada ibukku, tetapi ibuku menenangkannya dan
berkata pada kami berdua, “ Tenang Rita. Apakah kamu sudah lupa dengan motto
kita?” “ Bila kita telah bertemu dengan
hal yang berharga bagi kita, jangan lepaskan hal itu. Dan genggamlah dengan
erat!” kata kami bertiga secara bersamaan. Kami bertiga lalu tertawa dan paham
satu sama lain. Akupun tersenyum pada ibuku dan berlari bersama Ian keluar
stasiun.
Saat
diatas motor, Ian lalu menceritakan penyakit Rio yang ternyata sungguh kronis.
Ia lalu bercerita padaku bahwa jam 1 pagi tadi, Rio mengalami serangan dan
jatuh koma. Sekarang ini ia sedang dioperasi. Ian pagi tadi sudah mencoba
menghubungiku, tetapitak bisa. Ia lalu tau bahwa aku akan pulang hari ini, dan
iapun menyusul ke stasiun dan menjemputku. Apa yang diceritakan oleh Ian
benar-benar membuatku terguncang hingga tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku sangat
menyesal karena telah membujuk Rio untuk membuat janji yang sebenarnya tidak
dapat ia tepati. Akupun hanya bisa berdoa pada Tuhan, semoga Rio dapat selamat
dan tetap ada di dunia ini.
Akhirnya
kami sampai di rumah sakit. Kami lalu bergegas ke ruang operasi tempat Rio di
operasi. Saat sampai di depan pintu, aku merasakan perasaan yang tidak enak.
Aku lalu perlahan-lahan membuka pintu. Dan pemandangan di depan mataku sungguh
membuatku terpukul. Di dalam, ibu dan ayah Ian menangis tersedu-sedu, tampak seorang
dokter menjelaskan pada mereka berdua.
Tetapi yang
paling membuatku terpaku adalah tampak sebuah tubuh yang terbujur kaku di atas
ranjang. Aku sangat mengenal tubuh itu, ia adalah orang yang selama ini
menemaniku dengan surat-suratnya, ia adalah orang yang membuat jantungku selalu
berdetak tak karuan. Dan saat ini, tubuh itu tak bergerak sedikitpun. Aku lalu
mendekat kearahnya dan menyentuh tangannya. Tangannya yang pernah memegangku
saat itu sangat hangat, tetapi sekarang hanya dingin yang kurasakan.Aku lalu
menatap wajahnya yang terpejam dan tampak bahagia. Dan saat itulah aku sadar ia
benar-benar telah tiada.
Tanah tempatku
berpijak seakan-akan hilang, tubuhku merasa lemas dan otakku serasa berhenti
berpikir. Aku lalu tersungkur sambil tetap memegang tangannya. Aku tak
merasakan apapun lagi, semua inderaku seakan lumpuh dan tak berfungsi.
Airmatakupun terjatuh, pecah sudah tangisku. Terisak-isak ku memanggil namanya,
tetapi tak ada respon darinya. Tak ada kata-kata yang dapat mengungkapkan perasaanku
saat itu. Semua berjalan seperti film yag diputar dengan cepat.
Saat tersadar,
aku sudah berada di depan makam tempat Rio sekarang berbaring. Disebelahku
terdapat Ian yang mencoba menghiburku. Aku tau Ian pun juga ikut bersedih,
bahkan mungkin ialah yang paling sedih diantara kami semua yang ada disini.
Karena bagi Ian, Rio seperti kembaranya sendiri. Saat susah dan senang adalah
hal bersama bagi mereka berdua, aku tahu itu. Disinilah aku mengenang kembali
kenanganku bersama Rio. Saat aku pertama kali menerima surat ajakan berteman
darinya, saat kami pertama kali bertemu, ataupun saat kami tersenyum dan
tertawa bersama. Akupun menyesal karena hanya sedikit waktuku yang kuhabiskan
bersama dengan Rio. Tetapi aku tersadar bahwa aku ternyata ‘mencintai’ Rio selama
ini.
Saat akan pergi,
aku melihat ibu Rio bersimpuh dan memeluk nisan Rio sambil menangis. Aku lalu
mendatangi dan menyerahkan surat Rio yang kebetulan sedang kubawa saat itu pada
ibunya. Ibunya kaget dan terheran melihatku. Akupun bercerita bahwa selama ini
aku dan Rio telah bersurat-suratan. Akupun menyerahkan semua surat Rio dengan
harapan itu akan menjadi kenangan untuk ibunya. Ibunya lalu berterima kasih
padaku dan tersenyum. Saat itu aku langsung mengingat senyum Rio. Aku lalu
membalas tersenyum dan pergi meninggalkan makam Rio.
“ Hati-hati
dijalan ya, Nana. Sampaikan salam gue ke keluarga loe.” ucap Ian saat
mengantarku di stasiun. Saat aku akan berbalik pergi, tiba-tiba Ian memanggilku
kembali dan berkata, “ Nana, gue lupa ada hal yang belum gue sampaikan ke elo,
Rio ingin gue menyampaikan hal ini ke elo ‘maafkan aku dan terima kasih Nana’.
Itulah pesan Rio buat loe. Dan juga... sebenarnya selama ini dia sangat
mencintai loe, tetapi ia tak sempat menyampaikanya ke elo. Jadi gue sampaiin
ini ke elo.” Perkataan Ian saat itu benar-benar membuatku kaget. Apa yang aku
rasakan ternyata juga dirasakan oleh Rio. Tetapi ironisnya, kami berdua bahkan
tak sempat menyatakan langsung satu sama lain.
Akupun menangis
dalam penjalanan pulang, dan tangisku tetap tak berhenti hingga aku tiba di
rumah. Keluargaku hanya diam dan mengerti dengan keadaanku saat itu. Setelah 1
minggu berselang, tiba-tiba datang surat yang ditujukan untukku. Aku punhanya
terheran, dan saat membukanya di kamar, aku terkaget karena Rio lah pengirim
surat itu. Tanggal yang tertulis di surat itu menandakan tepat 1 hari sebelum
ia meninggal. Aku lalu bergegas membuka surat itu dan membacanya. Airmatakupun
menitik dan tangisku pecah. Aku menggenggam erat surat terakhir dari Rio,
dimana semua perasaannya tertuang disana untukku. Aku lalu menyimpan surat itu
ditempat yang aman sebagai kenangan terindahku...
~ *** ~
Itulah
pengalamanku pertama kali mencintai orang dan pertama kali merasakan perih
karena tak bisa bersatu dengan oranga yang kucintai. Saat mengingat kembali
pengalaman itu, airmataku kembali menitik. Sebelum menerima surat itu, Aku
selalu berpikir seandainya Tuhan mempertemukan aku dan Rio dari dulu, atau
andaikan aku dan Rio diberi waktu yang lebih panjang untuk kami berdua saling
mengungkapkan perasaan kami satu sama lain. Tapi, setelah membaca surat Rio,
aku tahu bahwa aku harus mengabulkan permohonan terakhir Rio. Walaupun sekarang
aku telah dewasa, tetapi aku masih tetap mengingat Rio. Dan selalu mengeluarkan
airmata saat mengenangnya kembali.
Tiba-tiba
terdengar suara ibuku dan berkata, “ Nana, Ian tadi menelepon dan bilang kalau
ia sekarang ada di stasiun. Cepat jemput dia! dan... ya ampun.... kamarmu
berantakan sekali, cepat bereskan!” kata ibuku sambil keluar kamarku. Aku lalu
berdiri dan menaruh surat yang sedari tadi kugenggam kedalam kotak. Akupun
tersenyum sendiri sambil menutup kotak itu. Aku lalu berlari keluar kamar dan
menyambut masa depanku.
~ *** ~
Dear Nana,
Terima kasih karena telah menemaniku selama ini. Aku sangat
bahagia karena kau telah datang untukku. Saat surat ini sampai di tanganmu,
mungkin aku sudah tak ada di dunia ini lagi. Maafkan aku karena tak dapat
memenuhi janjiku padamu. Bukan karena aku tak ingin bertemu lagi denganmu,
tetapi sudah saatnya Tuhan memanggilku, maafkan aku Nana....
Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu dari dulu. Saat
pertama kali melihat kiriman fotomu, aku merasakan perasaan yang hangat di
dadaku. Senyummu dalam foto telah membangkitkan semangat hidupku selama ini.
Dan saat itulah aku sadar bahwa aku telah jatuh cinta pada gadis yang ada di
foto itu, yaitu kamu. Dan saat pertama kali kita bertemu langsung, aku
merasakan getaran dan detak jantungku berdegup kencang saat melihat senyum di
wajahmu yang kau tujukan padaku. Aku tau hal ini terlambat untuk dikatakan
padamu. Tapi, aku ingin kau tau bahwa aku selama ini selalu mencintaimu.
Di surat terakhirku ini, maukah kau mengabulkan 1
permintaanku? Yang aku inginkan hanyalah “ Teruslah hidup dan tersenyum untukku
juga”. Kabulkanlah permohonanku ini, maukah kau?
Terimakasih karena telah hadir dalam hidupku Nana,
sahabat dan orang yang kucintai.
Love,
Rio